NGALONG — Tradisi Mistis “Udah Dari Sananya”

Sandi Fajariadi
5 min readDec 21, 2024

Di tengah winter yang menerpa dunia start-up, saya pun merasakan winter dalam artian sesungguhnya. Bulan Desember ini hujan turun makin sering, suhu udara makin sejuk, malah cenderung dingin. Tapi dinginnya kantor ini nggak ada obat! Bukan karena hujan, tapi gara-gara Jovana, tim PR yang katanya punya perjanjian khusus sama AC.

“Eike nggak bisa kalau nggak dingin! Kalau dinginnya kurang, nanti pori-pori eike kebuka, terus facial eike luntur. Ngerti nggak?” katanya dengan penuh drama, sambil nyengir tipis seperti aktris sinetron. Korban utamanya? Ya kita-kita ini, anak-anak lain yang terpaksa kerja pakai jaket Eiger super tebal, persis kayak mau hiking ke Gunung Bromo. Jadi kalau mau lihat sekumpulan orang Eskimo di Jakarta, datang saja ke kantor kami.

Dan tumben jam 10 an segini kantor sepi. Sebagian tim lagi WFH, sebagian lagi “me-WFH-kan diri” dengan berbagai alasan, dan sebagian lainnya cuma numpang absen doang sebelum Work From Nggak Jelas. Suasana open space kantor ini terasa lebih lega kalau tidak banyak orang. Saya duduk di meja sambil menyeruput kopi hitam hangat racikan Mang Daman, OB legendaris kantor ini. Pas lagi dingin dingin begini. Tiba-tiba, langkah cepat dan suara napas ngos-ngosan mulai mendekat, seperti adegan film horror dimana si pembunuh mulai mendekat.

Jay, parah nih!” Riyo nongol dengan muka campuran stress dan minyak wajah, langsung duduk di atas meja saya. Kebiasaannya nggak berubah: datang nggak pakai ba-bi-bu, langsung breaking news kayak reporter lapangan

Waalaikumsalam, Shalom, Om Swastiastu, Namo Budaya, Salam Kebajikan, Selamat Sejahtera bagi kita semua. Selamat pagi juga. Parah apanya? Tanggal tua ya? Mau pinjem duit?” langsung saya sergap.

Riyo hanya melotot sambil menaikkan alisnya ke arah saya. “Bukan masalah duit! Ini masalah kerjaan gue. Udah mau pecah kepala gue mikirnya.

Ooooh, masalah kerjaan” saya memonyongkan mulut sok paham “Biasa itu mah. Lo kan Full-Stack Product Manager, pasti kebanyakan yang lo stack jadi terlalu full wkwkwkwkwk” sambil nyengir kuda.

Bukan, Jay!” Riyo mulai sewot, “Gue lagi nge-review flow approval untuk refund transaksi merchant kita. Lo bayangin ya, refund sekecil apapun harus butuh tanda tangan 4 level approval! Dari tim operasional, supervisor, manajer sampai head.

Wah. Lumayan tuh. Kalau ganti oli mobil aja butuh satu orang, ini refund sampai butuh empat orang.” sambil garuk-garuk dagu “Satu orang lagi bisa bikin tim futsal

Nahhh!” Dia menepuk meja, emosinya makin kental. “Padahal request refund itu datang dari merchant. Duit yang mau direfund itu sebenarnya duit mereka sendiri, Jay. Kalau mau make sense, justru verifikasi refund-nya harusnya ada di sisi merchant dong. Apakah benar request refund ini valid dari mereka? Tapi ini kebalik, malah kita yang butuh approval berlapis-lapis.

Riyo melanjutkan “Gue tanya dong ke tim operasional, kenapa harus sampai 4 level approval?”

Terus jawabannya?” Saya ikut penasaran.

Gue pikir karena ada alasan keamanan otorisasi, atau biar keren mungkin karena ada permintaan PCI DSS, atau minimal karena hasil audit security meminta seperti itu” lalu Riyo sambil membesar-besarkan matanya melanjutkan “Ternyata dijawabnya: Ya emang gitu, Mas. Udah dari dulu begini. Jadi, ya dijalanin aja. Gubraakkkkk!

Saya langsung ngakak, “Jawaban klasik banget! Itu jawaban yang udah turun-temurun dari nenek moyang di dunia kerja.

Nah, itu dia!” Riyo langsung berdiri, mulai berapi-api seperti orator reformasi, “Gue sampai penasaran. Gue tanya lagi, siapa yang pertama kali bikin flow ini? Nggak ada yang tahu! Semuanya kayak amnesia kolektif. Kayak kerjaan ini udah ada dari jaman purbakala, tapi manusianya belum berevolusi sehingga gak ada yang ngerti kenapa dikerjain begini.

Ya ampun, Yo. Itu mah emang budaya kantor yang rada-rada mistis gitu. Udah dari sononya.” Saya menambahkan sambil tepuk tangan pelan ala penonton Inbox.

Bener, Jay. Ini kerjaan jadi kayak warisan. Nggak boleh ditanya, nggak boleh dipikir ulang, pokoknya dijalanin. Padahal ya, kalau dipikir pakai logika, refund segitu gedenya nggak lebih dari harga gorengan di kantin Mang Daman. Tapi approve-nya kayak mau tanda tangan perjanjian damai Perang Dunia ke-3.” dia masih melanjutkan “Maksudnya, kita perusahaan teknologi finansial loh, bukan perusahaan outsourcing. Setiap masalah seharusnya dibuat solusi terkini, bukan hanya mengandalkan warisan budaya kompeni.

Saya pun menepuk pundak Riyo sambil sok serius, “Yo, mungkin itu cara mereka ngasih kesempatan kerja lebih banyak. Lo bayangin aja, refund kecil bisa bikin empat orang kerja. Itu berarti dampak ekonomi positif. Produktivitas meningkat dan membuka banyak lapangan kerja.” kataku sambil ngakak.

Riyo langsung nyamber, “Produktivitas apaan! Itu sih buang-buang waktu namanya. Bukannya efisien, malah bikin birokrasi kayak jalan ke kantor kelurahan.” Dia menepuk jidatnya sendiri, “Jay, ini nih yang bikin kita nggak bisa maju. Semua ditanya jawabannya selalu sama: ‘Udah dari sononya begini’. Lah, siapa yang bikin ‘sononya’? Masa kita diem aja ngerjain sesuatu yang nggak jelas asal-usulnya?

Memang benar kata Riyo sih, istilah “udah dari sononya” itu tidak pernah jelas siapa di awal yang membuat. Siapa yang bikin sono-nya ini? Tidak ada dokumentasi, tidak ada SOP dan tidak ada why-nya kenapa dilakukan seperti itu. Dan kebanyakan yang mengerjakan pun juga tidak pernah berusaha menanyakan kenapa atau mengkritisi proses yang sudah berjalan tersebut. Bisa jadi karena malas, bisa jadi karena sungkan atau bisa jadi karena dibungkam oleh praktik feodalisme yang disamari dengan ucapan “udah dikerjain saja, gak usah banyak nanya”. Istilah ‘udah dari sononya’ itu sebenarnya semacam mantra. Fungsinya bukan untuk menjelaskan, tapi untuk menghentikan otak orang lain bertanya lebih jauh.

Saya mengangguk-angguk ala marmut lagi, “Betul sih Yo. Sejalan dengan waktu yang berjalan, banyak hal yang berubah. Sudah semestinya pekerjaan yang dilakukan harus beradaptasi. Adapt or die kalau kata Charles Darwin.

Nah, makanya gue mau bikin perubahan. Gue mau propose flow approval refund yang lebih simpel. Refund kecil bisa langsung di-approve sistem otomatis aja. Kalau gede baru naik ke approval. Banyaknya approval pun bisa dibuat dengan besaran tertentu. Itu lebih make sense, kan?

Wah, keren! Langsung eksekusi dong! Sikat lah!

Eksekusi gimana?” Riyo tampak melemas lagi sambil menunduk. “Pas gue propose, tim atas bilang: Hmm, jangan dulu. Kita jalanin aja yang sekarang. Soalnya, ya udah dari dulu begini.

Saya langsung ngakak lagi sambil tepok-tepok meja. “Halah, Yo. Lu lawan aja pake kata-kata sakti: Kalau udah dari dulu begini, saya rasa mending kita begitu aja.

Kami pun sama-sama tertawa sambil menikmati sisa kopi Mang Daman. Di kantor ini, budaya ‘udah dari sononya’ bukan cuma warisan, tapi hampir jadi agama. Tapi kalau nggak ada yang berani tanya kenapa, kita bakal terus lari di tempat. Riyo benar: kalau mau maju, jangan cuma nurut aja. Kadang kita harus jadi rebel, tapi rebel yang logis. Karena siapa tahu, sononya itu cuma kesalahan kecil yang kebawa-bawa selama bertahun-tahun.

Dan, yah, kalau semua gagal… ya sudah. Mari kita minum kopi lagi sambil merenung, pikirku sambil menyeruput kopi menggunakan tatakan gelasnya.

Jay, kok lo kalau minum kopi suka pakai tatakan gelas?

Saya hanya tersenyum misterius sambil menyeruput lagi. Udah dari sononya, Yo.

Tribute to Hilman Hariwijaya, penulis yang tulisannya selalu menemani masa kecil saya.

Sandi Fajariadi mempunyai pengalaman di product development terutama terkait payment, emoney dan ewallet. Di waktu senggang membuat aplikasi mobile seperti QRIS wantuno dan juga membuat beberapa lagu yang bisa dicek di Channel Youtube nya.

--

--

Sandi Fajariadi
Sandi Fajariadi

Written by Sandi Fajariadi

10+ years deep in payment systems, always curious about QRIS. Let's talk!

Responses (1)